BERITAINEWS, Makassar – Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulawesi Selatan, Rizki Hernida Wimanda, memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi perekonomian Sulsel, khususnya terkait kenaikan harga pangan, dalam acara Sulsel Talk 2025 di Gedung BI Sulsel lantai 4, Makassar, Selasa (12/8/2025).
Rizki menjelaskan, harga gabah kering panen saat ini sudah berada di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp6.500 per kilogram. Kenaikan harga ini mulai terlihat sejak Mei 2025, dengan lonjakan signifikan pada Juli. Beberapa faktor penyebabnya antara lain meningkatnya biaya produksi, berakhirnya puncak panen pada Maret–April, kesulitan pelaku usaha dalam mendapatkan bahan baku, hingga penarikan stok oleh sejumlah distributor.
Selain itu, Rizki menyebutkan realisasi produksi beras hingga Agustus baru mencapai 18,5% dari target, lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 21%. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Sulsel tahun ini berada pada kisaran 4,8–5,6%, dengan sektor industri saat ini mencatat pertumbuhan 5,3%. Inflasi pun diupayakan tetap terkendali, meski tekanan terbesar masih datang dari kelompok makanan dan minuman.
Dalam rekomendasinya, Rizki mendorong diversifikasi pasar ekspor agar tidak terlalu bergantung pada Tiongkok, terutama untuk sektor industri pengolahan berbasis tambang seperti nikel. Ia menilai perlu adanya insentif dan kemudahan perizinan untuk membentuk rantai industri dari smelter hingga produksi baterai di Sulsel.
Selain sektor tambang, Rizki menilai sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan perlu ditingkatkan produktivitasnya. Di perkebunan, ia menyoroti menurunnya daya saing komoditas sehingga impor lebih besar dari ekspor. Sementara di sektor perikanan, terutama rumput laut, mayoritas produk masih diekspor dalam bentuk kering. BI merekomendasikan penggunaan bibit unggul, peningkatan produktivitas, percepatan pembangunan jaringan irigasi, serta pemberian insentif untuk industri pengolahan rumput laut.
BI Sulsel juga menekankan pentingnya pengendalian inflasi melalui optimalisasi distribusi pasokan pangan, fokus pada komoditas penyumbang inflasi seperti cabai rawit dan bawang merah, serta kerja sama dengan kelompok tani dan champion farmer. Program pemanfaatan lahan pekarangan di sekolah, pesantren, desa, dan lapas juga diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan lokal.
Rizki menambahkan, optimalisasi cold storage menjadi salah satu kunci menekan kerugian akibat pasokan berlebih. Menurutnya, banyak fasilitas penyimpanan yang belum dimanfaatkan secara maksimal karena biaya operasional, terutama listrik, masih tinggi. Padahal, fasilitas ini penting untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga.
“Dengan kerja sama seluruh pihak, kita dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Sulsel sekaligus menjaga inflasi tetap terkendali. Tantangan ini justru menjadi momentum untuk berinovasi dan memperkuat ketahanan ekonomi daerah,” pungkas Rizki.(bb)