BERITAINEWS MAKASSAR — Sejumlah pimpinan dan anggota DPRD Makassar, meluruskan beredarnya informasi menyesatkan yang beredar di media sosial pasca kericuhan dan pembakaran Gedung DPRD Makassar pada 29 Agustus lalu.
Informasi tersebut dinilai bermuatan hasutan karena menyebutkan seolah-olah Wali Kota mengabaikan massa aksi yang berdemo di depan gedung rakyat, hingga menutup rapat paripurna sebelum selesai.
Faktanya, rapat paripurna pembacaan penjelasan Wali Kota Makassar terkait Nota Keuangan dan Rancangan Perubahan APBD 2025 pada Jumat (29/8) malam, telah berjalan sesuai agenda dan ditutup resmi oleh Wakil Ketua DPRD Makassar, Andi Suharmika, sekitar pukul 21.30 WITA. Rapat itu selesai lebih dulu, jauh sebelum massa aksi memasuki gedung DPRD.
Pimpinan dan anggota DPRD bersama Wali Kota serta Wakil Wali Kota Makassar juga meninggalkan gedung dalam kondisi aman, sebelum kemudian massa melakukan aksi pembakaran gedung, sekitar pada pukul 22.10 WITA.
Karena itu, tudingan yang menyebut Wali Kota dan DPRD tidak menemui pendemo dinilai tidak sesuai konteks lapangan. Terlebih, aksi massa di DPRD tidak pernah ada pemberitahuan resmi sebelumnya, dan lokasi yang menjadi titik aksi adalah gedung DPRD, bukan Balai Kota Makassar.
Wakil Ketua DPRD Makassar, Andi Suharmika, menegaskan bahwa informasi beredar di media sosial yang menyebut Wali Kota dan DPRD mengabaikan massa aksi saat rapat paripurna, sama sekali tidak benar.
Menurutnya, narasi tersebut tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi pada 29 Agustus 2025 lalu.
“Saya hadir di lokasi, memimpin jalannya paripurna. Setelah Wali Kota membacakan penjelasan terkait nota keuangan dan rancangan APBD Perubahan 2025, saya yang menutup sidang paripurna,” tegas Suharmika, Selasa (2/9/2025).
“Rapat resmi ditutup sekitar pukul 21.30 WITA. Setelah itu, saya dan pimpinan dewan bersama Wali Kota dan Wakil Wali Kota meninggalkan gedung dalam keadaan aman. Baru kemudian massa aksi masuk dan melakukan tindakan anarkis,” tamba Suharmika.
Ia membantah keras tudingan bahwa Wali Kota dan DPRD bermaksud tidak menemui pendemo. Menurutnya, situasi saat itu sama sekali berbeda dengan dinamika demonstrasi pada umumnya.
Aksi yang terjadi di Gedung DPRD tidak memiliki struktur, tidak ada koordinator lapangan, serta tidak ada penyampaian maksud dan tujuan aksi sebagaimana lazimnya sebuah demonstrasi.
“Demo itu biasanya ada pemberitahuan, ada korlap, ada tuntutan yang jelas. Tapi yang terjadi malam itu berbeda. Mereka datang tiba-tiba, tanpa komunikasi dengan pimpinan Dewan, tanpa menyampaikan aspirasi, justru melakukan perusakan, pembakaran, hingga penjarahan. Itu bukan demonstrasi, tapi tindakan kriminal,” tegasnya.
Suharmika menambahkan, massa aksi yang masuk ke DPRD melakukan tindakan brutal, mulai dari membakar gedung, merusak fasilitas, menjarah kendaraan, hingga menimbulkan korban jiwa.
Kondisi itu membuat nyawa Wali Kota, Wakil Wali Kota, serta anggota dewan yang berada di lokasi ikut terancam, sehingga mereka harus segera menyelamatkan diri.
Ini bukan kontrol sosial atau penetrasi gerakan mahasiswa. Ini murni chaos dan anomali bar-bar.
“Kalau memang niatnya menyampaikan aspirasi, tentu bisa dilakukan dengan cara baik-baik, melalui dialog, dengan membawa tuntutan jelas. Bukan dengan cara merampok, menjarah, dan menghilangkan nyawa,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa lokasi yang diserang massa adalah Gedung DPRD, bukan Balai Kota. Sehingga, tudingan yang menyebut Wali Kota menolak menemui pendemo pun tidak relevan.
“Jangan dipelintir. Rapat paripurna sudah selesai dan ditutup secara resmi. Jadi bukan kabur atau melarikan diri. Fakta di lapangan jelas, bahwa yang terjadi adalah aksi kriminal, bukan demonstrasi,” tutupnya.
Sedangkan, Wakil Ketua DPRD Makassar, Anwar Faruq, membantah informasi yang beredar bahwa rapat paripurna DPRD pada 29 Agustus lalu tidak diselesaikan akibat aksi demonstrasi.
Menurutnya, paripurna tetap berjalan sesuai agenda hingga resmi ditutup sebelum para legislatif dan eksekutif meninggalkan gedung.
“Paripurna diselesaikan dulu baru kita bubar. Jadi sudah selesai, ditutup secara resmi. Jadi, pak Wali, bu Wawali sudah meninggalkan lokasi,” tegas Anwar.
Politisi PKS itu menilai, informasi yang menyebut DPRD panik dan meninggalkan sidang sebelum tuntas, tidak benar dan justru menyesatkan publik.
Lebih lanjut, Anwar juga menyoroti jalannya aksi unjuk rasa yang berujung ricuh. Ia menegaskan, demonstrasi tersebut sudah disusupi pihak tertentu sehingga berubah menjadi tindakan anarkis.
“Demo itu sudah disusupi, ada yang melempar, membakar, dan menjarah. Jadi demo itu tidak murni, tapi sudah tindakan brutal,” ungkapnya.
Seperti diketahui, demonstrasi di Gedung DPRD Makassar pada 29 Agustus lalu berakhir ricuh. Selain menyebabkan gedung terbakar, sejumlah fasilitas publik juga ikut rusak, bahkan beberapa kendaraan hangus terbakar.
Sevara terpisah, Anggota DPRD Makassar, Fasruddin Rusly, juga meluruskan isu menyesatkan yang beredar di media sosial pasca insiden kericuhan dan pembakaran Gedung DPRD Makassar pada 29 Agustus lalu.
Ia menegaskan bahwa informasi yang menyebut Wali Kota dan DPRD panik, kabur sebelum rapat paripurna selesai, serta tidak menemui pendemo, adalah kabar bohong yang sengaja digoreng untuk menyesatkan publik.
“Saya hadir langsung dalam paripurna itu. Sidang berjalan normal untuk mendengarkan penjelasan Wali Kota terkait APBD Perubahan. Rapat selesai, forum resmi ditutup, baru kemudian massa datang dan melakukan aksi anarkis, Jadi tudingan Wali Kota kabur sebelum paripurna selesai itu tidak benar sama sekali,” tegas Fasruddin.
Politisi PPP itu menambahkan, Wali Kota Makassar bahkan tiba lebih awal sebelum rapat dimulai. Saat itu, kondisi sekitar gedung DPRD masih kondusif, tidak ada tanda-tanda kehadiran massa. Situasi baru berubah setelah rapat selesai dan paripurna ditutup oleh pimpinan dewan.
“Pak Wali hadir lebih dulu, sebelum ada massa di lokasi. Rapat paripurna berjalan normal, kemudian selesai, forum ditutup. Setelah itu barulah massa muncul membuat kegaduhan, menyerang, dan membakar kantor DPRD,” jelasnya.
Fasruddin menilai, narasi yang berkembang di media sosial adalah bentuk kampanye hitam yang dimainkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Menurutnya, isu tersebut sengaja digoreng untuk menyesatkan masyarakat dan memperkeruh suasana pasca tragedi. Ada oknum yang sengaja membuat black campaign.
“Informasi itu sesat, menyesatkan, dan tidak sesuai fakta. Saya tegaskan sekali lagi, rapat sudah selesai baru massa masuk. Jadi tidak ada istilah kabur, karena sidang memang sudah ditutup secara resmi,” tutupnya.