Di Laut Perang Tarif Antara AS dan China, Akankah Indonesia Tenggelam Atau Berlayar Lebih Jauh

Berita Inews
Berita Inews

BERITAINEWS SULSEL — Perang tarif China-AS bukan sekadar pertarungan dua raksasa ekonomi, tapi juga ujian nyata bagi ketahanan Indonesia menghadapi gelombang proteksionisme global. Ketegangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat (AS) terus memanas seiring dengan saling balas kebijakan tarif yang dikenakan kedua negara.

Konflik yang berawal dari kebijakan proteksionisme AS di era Donald Trump ini tidak hanya memengaruhi hubungan bilateral kedua negara, tetapi juga mengguncang stabilitas ekonomi global. Sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan dari perang dagang ini.

Bacaan Lainnya

Menurut data Bank Dunia, perang tarif ini telah mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5% pada 2023. Sementara itu, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa eskalasi konflik lebih lanjut dapat memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Bagi Indonesia, situasi ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengevaluasi ketahanan dan strategi ekonominya.

Salah satu efek langsung dari perang tarif ini adalah perubahan pola perdagangan global. China dan AS merupakan dua mitra dagang terbesar Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke AS mencapai 18,5 miliar pada 2023, sementara ke China menyentuh 65 miliar. Dengan adanya tarif tambahan, komoditas Indonesia bisa terkena imbas, terutama jika permintaan dari kedua negara tersebut menurun.

Di tengah ketidakpastian yang melanda pasar global, Indonesia dihadapkan pada dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada peluang emas untuk menarik investasi asing yang mungkin dialihkan dari China akibat tingginya tarif ekspor. Beberapa sektor, seperti manufaktur dan industri pengolahan, berpotensi mendapatkan limpahan investasi tersebut.

Selain itu, produk- produk ekspor Indonesia seperti tekstil dan turunan kelapa sawit bisa mengambil alih pasar yang ditinggalkan oleh produk China di AS.
Namun, di sisi lain, gejolak perdagangan ini juga membawa ancaman serius. Sektor-sektor yang selama ini menggantungkan ekspor pada permintaan global, seperti karet dan baja, bisa mengalami penurunan signifikan akibat melemahnya perdagangan internasional.

Ketergantungan Indonesia pada pasar China dan AS juga membuat perekonomian nasional rentan terhadap fluktuasi kebijakan kedua negara.
Misalnya, China merupakan tujuan utama ekspor komoditas Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit. Jika permintaan China menurun akibat perlambatan ekonomi, dampaknya akan langsung terasa pada neraca perdagangan Indonesia.

Oleh karena itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah krusial untuk mengurangi ketergantungan ini. Selain itu, produk ekspor Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan turunan kelapa sawit bisa mengambil alih pasar yang ditinggalkan oleh produk China di AS. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa ekspor tekstil Indonesia ke AS meningkat 12% pada 2023, didorong oleh tarif yang lebih tinggi pada produk sejenis dari China. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ruang untuk memperluas pangsa pasarnya jika mampu memanfaatkan momentum dengan baik.

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Langkah seperti percepatan hilirisasi industri dan perluasan kerja sama dagang patut diapresiasi. Sayangnya, upaya ini belum maksimal jika melihat realitas di lapangan. Infrastruktur logistik yang buruk dan regulasi yang tumpang tindih masih menjadi momok bagi investor. Tanpa perbaikan fundamental, kebijakan strategis hanya akan jadi wacana.

Selain itu, Indonesia aktif menjajaki kerja sama dengan pasar baru di Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Perjanjian dagang dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Afrika Selatan adalah contoh upaya untuk mengurangi ketergantungan pada China dan AS.

Namun, upaya ini belum maksimal jika melihat realitas di lapangan. Infrastruktur logistik yang buruk, regulasi yang tumpang tindih, dan birokrasi yang berbelit-belit masih menjadi penghambat utama dalam menarik investasi dan meningkatkan ekspor.

Menurut laporan World Bank Ease of Doing Business 2023, Indonesia masih berada di peringkat 73 dari 190 negara, dengan birokrasi dan kepastian hukum sebagai masalah utama. Meskipun demikian, langkah-langkah tersebut belum cukup jika tidak dibarengi dengan peningkatan daya saing industri dalam negeri.

Infrastruktur logistik yang masih tertinggal dan birokrasi yang berbelit-belit sering kali menjadi penghambat utama dalam menarik investasi dan meningkatkan ekspor. Tanpa perbaikan mendasar di sektor-sektor ini, Indonesia berisiko hanya menjadi penonton dalam persaingan ekonomi global.
Perang tarif antara China dan AS seharusnya menjadi wake-up call bagi Indonesia untuk mempercepat reformasi ekonomi.

Diplomasi perdagangan harus lebih agresif membuka pasar baru, sementara kebijakan dalam negeri perlu difokuskan pada penciptaan iklim usaha yang lebih kompetitif. Jika tidak, Indonesia akan terus terjebak dalam ketergantungan pada dinamika ekonomi global yang tidak pasti.

Jika Indonesia gagal memanfaatkan momentum ini, bukan hanya peluang yang hilang, tapi juga kedaulatan ekonomi yang terus tergadaikan. Indonesia tidak hanya bisa bertahan dari dampak perang dagang, tetapi juga bisa muncul sebagai pemenang dengan ekonomi yang lebih tangguh dan mandiri.

( Andi Dicky Hardiasyah)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *