K2P Memperkuat Kapasitas Masyarakat dalam Ketahanan Iklim

Berita Inews
Berita Inews

BERITAINEWS MAKASSAR — Krisis iklim yang terjadi di seluruh dunia membawa tantangan besar bagi masyarakat, mulai dari mata pencaharian, akses air bersih, sumber pangan, hingga tempat tinggal. Untuk itu, dibutuhkan aksi bersama dalam membangun model yang sesuai dengan konteks sosio-ekologis masyarakat. Dengan begitu, komunitas lokal—khususnya penyandang disabilitas, perempuan, dan lansia sebagai kelompok yang lebih rentan dapat semakin tangguh dalam menghadapi perubahan iklim.

Pembahasan ini menjadi poin kunci dalam Knowledge-to-policy Exchange (K2P) di acara Knowledge and Innovation Exchange Roadshow di Makassar. Diselenggarakan oleh KONEKSI, inisiatif kolaboratif di sektor pengetahuan dan inovasi yang mendukung kemitraan organisasi Australia–Indonesia, sesi ini dihadiri oleh sekitar 250 pemangku kepentingan. Rabu, 20 Agustus 2025.

Bacaan Lainnya

Dalam sesi, para peserta diingatkan bahwa upaya mendorong strategi ketahanan iklim di tingkat tapak ini perlu menghindari dua pandangan ekstrem. Pertama, menyepelekan masyarakat dengan akses pendidikan dan penghidupan lebih lemah. Kedua, mengglorifikasi kemampuan masyarakat untuk bertahan di tengah krisis iklim, dalam kondisi serba terbatas.

“Pemangku kepentingan perlu mendengar cerita masyarakat di tingkat tapak, membantu komunitas lokal untuk bertahan dengan cara-cara kreatif agar resilien terhadap perubahan iklim. Serta, memfasilitasi pertemuan lintas disiplin ilmu untuk mencari solusi agar kehidupan komunitas lokal tidak semakin memburuk, tetapi justru meningkat di tengah krisis iklim,” kata akademisi Universitas Hasanuddin Sudirman Nasir.

Adapun riset Sharyn Davies (Monash University, Australia), yang dilakukan bersama beberapa institusi mitra di Indonesia, bertajuk “Building a Model of Future-Proofing for Climate Resilience by Engaging Communities (MOEFCREC) in Eastern Indonesia,” menunjukkan bagaimana masyarakat khususnya kelompok rentan sudah melakukan cara-cara kreatif terkait ketangguhan iklim tersebut.

Dalam penelitiannya, tergambar bagaimana perempuan tani di Lombok, misalnya, menampung air hujan dan benih yang baik untuk mengatasi kekeringan, sementara komunitas nelayan menginisiasi konservasi terumbu karang, memanen gurita secara berkelanjutan, dan ekowisata di wilayah pantai untuk bertahan dari perubahan iklim.

Aneka cara kreatif ini perlu dieskalasi agar berdampak lebih luas ke masyarakat setempat. Mencapai itu, pemangku kepentingan perlu melakukan advokasi, mengajak masyarakat bersama-sama memetakan permasalahan untuk menentukan kolaborasi dalam strategi resiliensi iklim yang relevan.

Perwakilan Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTB Suryani Eka Wijaya yang hadir dalam sesi pun menyebut, pemangku kepentingan yang memiliki fokus terhadap isu dapat mendorong keberlanjutan strategi ketahanan iklim lewat kebijakan. “Pemangku kepentingan perlu memetakan, ceruk mana yang bisa digunakan untuk memanfaatkan cerita-cerita dari lapangan dan data penelitian ini untuk mendorong hadirnya kebijakan,” kata Suryani

Akademisi Universitas Mataram Taqiuddin, dalam penelitiannya yang bertajuk “Understanding Climate Impact on Grassroot Communities and Rural Livelihood in Indonesia: Catalysing Changes Toward Adaptation and Resilience,” yang bekerja sama dengan Charles Darwin University, Faculty of Arts and Society, menemukan bahwa proses pelibatan masyarakat itu tidak mudah. Dalam melakukan advokasi di tingkat tapak, sering kali terdapat resistensi karena masyarakat merasa gagasan terkait ketahanan iklim yang mereka ajukan sebelumnya tidak pernah terealisasi. Namun pendekatan terus-menerus dan pelibatan masyarakat untuk pembuatan rencana kerja komunitas memungkinkan eskalasi strategi ketahanan iklim ini mulai dari tingkat pedesaan.

Sementara peneliti dari Charles Darwin University Jonatan A Lassa menyebut, upaya kolaboratif dari pemangku kepentingan termasuk akademisi yang mendorong penelitian di tingkat tapak perlu mengarah ke objektif berupa dampak. “Penelitian yang sifatnya partisipatoris lebih mudah dieskalasi untuk pembuatan kebijakan. Di Australia, praktik riset semacam ini cenderung lebih familiar dilakukan, sehingga sekalipun lama, tetapi efek transformatif yang dihasilkan lebih relevan. Sebab proses identifikasi masalah hingga pencarian solusinya dilakukan bersama masyarakat terdampak. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *