BERITAINEWS MAKASSAR — Litha Brent pengusaha hasil bumi, barang dan jasa mengungkapkan dugaan praktik kebohongan dan ketidakadilan dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang telah berlangsung selama bertahun-tahun pada Selasa, 11 November 2025.
Proses ini, yang dimulai pada lelang aset-aset perusahaan di bawah harga pasar, disebut telah menimbulkan potensi kerugian yang luar biasa mencapai Rp 212 miliar.
Perjalanan hukum Litha Brent dimulai pada tahun 2012 ketika BNI bersama Istana Kopling mengajukan permohonan PKPU. Saat itu, Litha Brent menghadapi klaim utang senilai Rp 90 miliar yang menurut perusahaan tidak valid. Meskipun dinyatakan sah di Pengadilan Niaga, Litha Brent mengajukan kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, yang pada akhirnya menyatakan klaim utang tersebut tidak sah.
Namun, pada penghujung tahun 2013, gugatan PKPU serupa diajukan kembali oleh kelompok yang sama. Kali ini, melibatkan ahli waris dan proses tersebut berhasil memvalidasi klaim utang, bahkan setelah naik banding hingga Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, hasilnya berbalik menjadi valid.
“Waktu masuk itu dengan nilai hutang kami hanya 90 miliar dan itu kami tidak valid, tapi dinyatakan valid di Pengadilan Negeri,” terang Serli Sekretaris Litha Brent. “Naik kasasi, akhirnya naik sampai PK di Mahkamah Agung dinyatakanlah bahwa kami tidak sah. Itu pada tahun 2012. Kemudian, akhir tahun 2013 dia memasukkan lagi kembali PKPU di validkan lagi, dengan kelompok yang sama. Akhirnya karena dirasa mungkin tidak cukup orang-orang yang masuk ke dalamnya, yang kedua ini dimasukkan ahli waris. Sampai ke PK, kami kalah.”
Pasca-validasi tersebut, kurator mulai melelang aset-aset Litha Brent. Hingga kini, delapan lokasi aset telah dilelang dengan total nilai lelang hanya Rp 116 miliar, dari nilai apresial sebenarnya yang mencapai Rp 327 miliar. Hal ini menimbulkan potensi kerugian sekitar Rp 212 miliar bagi perusahaan, karena aset-aset tersebut dijual jauh di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), termasuk salah satunya aset perusahaan kami yang ada di Jalan Urip Sumoharjo.
“Ini delapan aset kalau nilai apresialnya 327 miliar. Sementara dia lelang itu totalnya 116 miliar, jadi kita punya potensi kerugian itu 212 miliar karena mereka menjual semua di bawah harga NJOP,” jelas Serli.
Litha Brent merasa sangat dirugikan, tidak hanya secara materi tetapi juga berdampak pada karyawan dan keberlangsungan usaha. Mereka menduga adanya “oknum atau kelompok yang memang sengaja” memvalidkan perusahaan mereka dengan memanipulasi proses hukum.
Serli Sekretaris Perusahaan Litha Brent juga menyoroti intimidasi terhadap karyawan yang seolah-olah ingin mematikan bisnis mereka, padahal Litha Brent mengaku masih memiliki kemampuan untuk berjalan.
Lebih lanjut, memaparkan adanya dugaan dalam klaim utang. Awalnya, klaim utang yang ditawarkan hanya sebesar Rp 18 miliar dari satu perusahaan (Firmalita). Namun, dalam proses selanjutnya, klaim membengkak menjadi Rp 92 miliar dengan memasukkan aset-aset dari perusahaan lain yang terkait. “Di situ kita lihat ada konspirasinya,” tegasnya, seraya menegaskan bahwa perusahaan sebenarnya memiliki kemampuan membayar karena total asetnya jauh melebihi jumlah utang.
Pihak Litha Brent berharap agar prinsip-prinsip keadilan dalam Undang-Undang Kepailitan dapat diterapkan dengan seharusnya, mengingat ada indikasi kuat praktik yang tidak adil dalam kasus ini, yang menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan dan banyak pihak yang bergantung padanya.