BERITAINEWS JAKARTA — Di tengah gempuran krisis iklim, alih fungsi lahan, dan stagnasi produktivitas, sektor pertanian Indonesia berada di persimpangan penting: antara mempertahankan cara-cara lama atau membuka diri pada revolusi digital. Artificial Intelligence (AI) yang dulu terdengar futuristik, kini perlahan mulai merambah lahan pertanian di berbagai belahan dunia. Dengan potensi besar yang dimilikinya, pertanyaan pun muncul: mungkinkah petani Indonesia benar-benar mengandalkan AI untuk menyongsong masa depan pertanian yang lebih efisien, adaptif, dan berkelanjutan?
Potret pertanian Indonesia saat ini memperlihatkan wajah yang kontras. Di satu sisi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, lebih dari 29% tenaga kerja di Indonesia menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Namun di sisi lain, kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hanya sekitar 12,4%. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara jumlah tenaga kerja dan hasil ekonomi yang diperoleh. Belum lagi, sebagian besar petani di Indonesia sudah berusia lanjut mayoritas di atas 45 tahun dan sebagian besar generasi muda enggan terjun ke dunia pertanian. CNBC Indonesia (2023) mencatat bahwa sektor ini dianggap tidak menjanjikan, kurang menguntungkan, serta tidak memiliki daya tarik secara sosial. Selain itu, alat produksi yang digunakan sebagian besar masih sederhana dan minim teknologi. Para petani bergantung pada pengalaman tradisional, menghadapi tantangan perubahan cuaca tanpa alat prediksi, serta bergulat dengan harga pasar yang fluktuatif tanpa akses pada data dan jaringan distribusi digital.
Di tengah situasi tersebut, teknologi AI muncul sebagai secercah harapan. Di negara-negara seperti Belanda, Jepang, dan Amerika Serikat, AI telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan: mulai dari memprediksi waktu panen, mengatur irigasi otomatis berbasis sensor kelembaban tanah, hingga mengenali penyakit tanaman menggunakan kamera dengan sistem image recognition. AI bahkan bisa memberikan rekomendasi dosis pupuk secara presisi dan efisien berdasarkan kondisi tanah dan cuaca. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Meskipun belum masif, benih revolusi AI dalam pertanian Indonesia mulai tumbuh. Beberapa start-up agritech lokal seperti TaniHub, eFishery, dan Habibi Garden telah memperkenalkan teknologi berbasis AI di lapangan. Contohnya, eFishery menggunakan perangkat berbasis AI untuk mengatur jumlah pakan ikan secara otomatis berdasarkan perilaku ikan yang terpantau sensor. Teknologi ini berhasil menghemat biaya pakan hingga 30%. Sementara itu, Habibi Garden menyediakan sensor untuk tanaman hortikultura yang mampu mendeteksi kebutuhan air dan nutrisi, lalu mengaktifkan sistem irigasi tetes secara otomatis. Kementerian Pertanian RI sendiri telah menyusun Roadmap Transformasi Digital Pertanian 2020–2024 yang menempatkan teknologi AI, big data, dan Internet of Things (IoT) sebagai fondasi utama pertanian modern di Indonesia.
Namun, optimisme ini tidak menutup mata pada berbagai tantangan besar yang dihadapi. Pertama, keterbatasan infrastruktur digital menjadi penghambat utama. Sebagian besar daerah pertanian masih kesulitan mendapatkan akses internet stabil dan listrik memadai. Padahal, teknologi AI sangat bergantung pada konektivitas real time dan sistem berbasis cloud. Kedua, rendahnya literasi digital di kalangan petani juga menjadi tantangan serius. Banyak petani, terutama yang berusia lanjut, merasa canggung atau bahkan takut menggunakan perangkat digital seperti smartphone, aplikasi pertanian, atau sistem sensor berbasis AI. Ketiga, biaya adopsi teknologi yang relatif tinggi juga menjadi hambatan. Harga alat sensor, drone, hingga software AI canggih tidak murah, apalagi bagi petani kecil dengan skala usaha terbatas. Keempat, kurangnya pendampingan dan edukasi menjadikan banyak inovasi hanya berhenti di level proyek percontohan, tanpa berlanjut ke penerapan jangka panjang.
Meski demikian, menutup peluang AI dalam sektor pertanian adalah sikap yang terlalu pesimis. Justru sebaliknya, jika dipersiapkan dengan strategi yang matang, AI dapat menjadi katalis penting untuk mengangkat produktivitas, efisiensi, dan daya saing pertanian Indonesia. AI mampu membantu petani menentukan waktu tanam terbaik dengan memprediksi curah hujan, mengatur sistem pemupukan otomatis, mendeteksi hama sejak dini, hingga memberikan informasi harga pasar secara real time. AI tidak dimaksudkan untuk menggantikan petani, melainkan menjadi “mitra digital” yang membantu pengambilan keputusan lebih akurat dan cepat.
Contoh nyata keberhasilan integrasi AI di Indonesia bisa dilihat pada petani cabai di Garut yang menggunakan aplikasi sensor suhu dan kelembaban untuk mengatur penyiraman tanaman. Hasilnya, mereka tidak hanya menghemat air, tetapi juga meningkatkan hasil panen hingga 20% karena tanaman tumbuh lebih optimal. Di sektor perikanan, AI pada eFishery terbukti mampu mengidentifikasi perilaku makan ikan dan hanya memberikan pakan ketika ikan aktif, mencegah pemborosan dan pencemaran air. Di sisi lain, mahasiswa pertanian di beberapa kampus seperti IPB dan UGM juga mulai mengembangkan prototipe robot penyiram otomatis dan sistem AI berbasis kamera yang mendeteksi penyakit daun padi secara cepat dan akurat.
Untuk mewujudkan pertanian berbasis AI yang benar-benar inklusif, dibutuhkan kolaborasi multi-sektor. Pemerintah harus mempercepat pembangunan infrastruktur digital di desa-desa, termasuk akses internet dan listrik yang stabil. Kementerian Desa dan Kementerian Komunikasi perlu bekerja sama untuk menjadikan desa sebagai pusat inovasi digital, bukan hanya sebagai lokasi produksi pangan. Selain itu, edukasi dan pelatihan harus menjadi prioritas. Petani tidak bisa begitu saja diberikan alat canggih tanpa pemahaman cara menggunakannya. Program pelatihan berbasis komunitas, demo plot, hingga pelatihan petani milenial bisa menjadi kunci.
Solusi lainnya adalah memperluas skema subsidi atau kredit ringan untuk pembelian alat teknologi pertanian. Pemerintah bersama lembaga keuangan seperti BUMN perbankan atau fintech dapat menciptakan produk khusus untuk petani dalam membeli sensor, perangkat AI, atau membangun rumah kaca otomatis. Selain itu, kurikulum sekolah kejuruan dan politeknik pertanian perlu diperbarui agar mencakup pemrograman AI dasar, agronomi digital, dan penggunaan perangkat IoT. Generasi muda harus diberi gambaran bahwa menjadi petani modern sama bergengsinya dengan profesi lain, karena mereka adalah pahlawan pangan digital masa depan.
Perlu juga ditekankan bahwa pendekatan teknologi harus bersifat kontekstual. Artinya, AI yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan petani lokal. Jangan sampai teknologi yang digunakan justru memberatkan karena tidak sesuai dengan kondisi lingkungan, kultur, atau skala usaha. Oleh karena itu, riset dan pengembangan teknologi pertanian harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan petani sejak tahap perancangan, bukan sekadar menjadi pengguna akhir.
Sekarang, pertanyaan “mungkinkah petani Indonesia mengandalkan teknologi AI?” bukanlah persoalan sekadar teknis, melainkan menyangkut kesiapan ekosistem secara menyeluruh: dari infrastruktur, pendidikan, pembiayaan, hingga kebijakan. AI tidak akan serta-merta menjadi solusi instan bagi seluruh persoalan pertanian Indonesia. Namun, dengan pendekatan yang tepat dan kolaborasi yang kuat, AI dapat menjadi salah satu kunci utama menjawab krisis regenerasi petani, tantangan produktivitas, serta kebutuhan akan sistem pangan nasional yang lebih tangguh dan adaptif. Pertanian masa depan Indonesia adalah pertanian yang memadukan kearifan lokal dengan kecerdasan buatan—dan itu sangat mungkin diwujudkan, asalkan kita mau bergerak bersama sejak sekarang.
Penulis: Radhitya Zaidan