Modantara Tunjukkan Kepedulian pada Mitra Digital

Berita Inews
Berita Inews

BERITAINEWS, Jakarta – Aksi unjuk rasa yang dilakukan sejumlah mitra pengemudi pada hari ini kembali menyoroti posisi krusial sektor mobilitas dan layanan pengantaran berbasis digital dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Aksi tersebut juga mencuatkan kembali perdebatan seputar wacana pemotongan komisi hingga 10% serta usulan reklasifikasi mitra menjadi karyawan tetap.

Lembaga kajian Modantara menilai, usulan-usulan tersebut membawa sejumlah konsekuensi serius yang dapat menghambat laju perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Menurut Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, pendekatan terhadap isu ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi riil, bukan sekadar dorongan politik jangka pendek.

Bacaan Lainnya

“Komisi yang seragam justru berpotensi menekan inovasi dan mengganggu keberlanjutan operasional, terutama di wilayah dengan margin rendah,” kata Agung. Ia menambahkan bahwa setiap platform memiliki model bisnis dan target pasar yang berbeda, sehingga pendekatan tunggal dinilai tidak memadai.

Sementara itu, wacana perubahan status mitra menjadi karyawan tetap juga dinilai bisa menggerus fleksibilitas yang selama ini menjadi daya tarik utama bagi banyak pekerja di sektor ini. Berdasarkan data dari Svara Institute (2023), Modantara memperkirakan bahwa reklasifikasi dapat menyebabkan hilangnya jutaan pekerjaan, menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hingga Rp178 triliun, dan meningkatkan harga layanan secara signifikan – sebagaimana pernah terjadi di negara-negara seperti Inggris dan Spanyol.

Dalam hal tarif layanan, Modantara menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang berbasis data. Penyesuaian tarif dinilai perlu mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi operasional di berbagai daerah, agar tidak menurunkan aksesibilitas layanan, terutama di wilayah-wilayah non-komersial.

Kritik juga diarahkan pada kerangka hukum yang mengatur sektor ini. Saat ini, layanan on-demand masih berada di bawah regulasi yang dinilai sudah usang, seperti UU Pos No. 38/2009. Modantara mendorong pembaruan regulasi yang lebih kontekstual dan menjawab kebutuhan lintas sektor.

Di sisi lain, usulan penerapan pendapatan minimum yang disamakan dengan UMR dinilai bisa mengganggu keseimbangan pasar kerja digital. Menurut Modantara, pendekatan yang lebih adaptif diperlukan, seperti memperluas perlindungan sosial melalui BPJS, memperkuat akses pembiayaan, dan mendukung pelatihan keterampilan baru.

Modantara juga mengingatkan bahwa gangguan besar terhadap sektor ini berpotensi memberi efek domino terhadap sektor lain, termasuk UMKM, logistik, dan ritel. Data dari berbagai riset seperti CSIS dan ITB menunjukkan bahwa sektor pengantaran digital berperan signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di sektor informal.

Akhirnya, lembaga ini menekankan pentingnya pembelajaran dari negara lain. Mereka mengingatkan bahwa kebijakan yang bertujuan melindungi harus didasarkan pada data dan konteks lokal agar tidak menimbulkan dampak balik yang lebih besar.(**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *